Mulia Menjaga Lisan | Roisatul Mufarrohah

(Roisatul Mufarrohah, Mahasiswi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, FIAI UNISI)

Gambar dikutip dari
hasmi.org

Syekh Abdurrahman As-Sa’dy dalam tafsirnya Jilid 5 halaman 418 menjelaskan, bahwa: tiga ayat ini menyebutkan tentang dua kelompok nikmat Allah Ta’ala pada manusia. Yaitu nikmat duniawi dan nikmat diniyah.

Perkataaan ‘aynayn (dua mata), lisan (lidah) dan syafatayn (dua bibir) merupakan nikmat-nikmat duniawi yang sangat penting, yang berfungsi untuk keindahan, penglihatan dan komunikasi, sedangkan nikmat diniyah disebutkan dalam redaksi ayat: “wahadaynahun najdayn (dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan; Yang dimaksud dengan dua jalan ialah jalan kebajikan dan jalan kejahatan).

Dari penjelasan Syekh di atas, menunjukkan bahwa lidah pada manusia memiliki berbagai fungsi, dan diantara fungsinya yang paling spesifik dan paling penting adalah sebagai alat komunikasi. Hewan juga memiliki lidah tetapi tidak berfungsi sebagai alat komunikasi. Dengan alat yang kecil ini sebagian besar kebutuhan manusia dapat terpenuhi, sebab hal-hal yang terpendam dalam hati dapat diungkapkan dengan jelas.

Dengan demikian jelaslah, bahwa nikmat lisan dan kedua bibir, merupakan anugerah Allah Ta’ala yang sangat agung dan diberikan secara gratis kepada setiap manusia, tanpa memandang status dan agamanya, bayangkan jika nikmat ini harus kita bayar.

Keutamaan Menjaga Lisan dan Bahaya Tidak menjaganya
Jika Allah SWT memberikan nikmat lisan secara gratis, itu tidak bermakna kita boleh berbicara menurut kehendak hawa nafsu. Yang dikehendaki oleh Sang Pemberi nikmat adalah bersyukur kepadaNya dengan cara memanfaatkan lisan sesuai dengan tuntunan dan syari’atNya.

Anggota tubuh yang satu ini memang tidak tersusun atas tulang-belulang seperti anggota tubuh lainnya, akan tetapi jika digunakan tidak sesuai dengan aturan Pemberinya, maka lisan seperti ini bisa lebih tajam dari pedang terhunus. Karena itu ada sebuah pepatah dalam bahasa Indonesia menyebutkan: “Mulutmu adalah harimaumu” dan sebuah pepatah Arab menyatakan: “Salamatul insan fi hifzhil lisan” (Keselamatan manusia sangat tergantung pada penjagaan lisannya).

Di antara ancaman kepada orang yang tidak bisa menjaga lisannya adalah sabda Rasulullah Saw., “Sesungguhnya jika seorang hamba berbicara dengan kalimat yang tidak jelas baginya (apakah kalimatnya itu benar atau salah), maka ia akan tergelincir ke dalam neraka sejauh jarak antara timur dan barat ” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sementara Ibnul Qayyim ra. berkata seperti yang dikutip dalam Kitab Al-Jawab Al-Kaafi: “Betapa banyak orang yang hati-hati dari perbuatan keji dan dzalim, tetapi lidahnya mencaci maki kehormatan orang yang masih hidup dan yang sudah wafat, sementara ia tidak menyadari akan apa yang diucapkannya”.

Sebaliknya, jika lisan digunakan sesuai tuntunan syari’atNya, maka lisan akan memproduksi berbagai kebaikan, seperti mengucapkan kalimat yang paling agung dan paling berat timbangannya di hari akhirat, yaitu kalimat tauhid: Laa Ilaaha Illallah Muhammadur-Rasulullah, kalimat-kalimat dzikir, dakwah di jalan Allah, perkataan-perkataan santun dan lemah lembut yang menjadi perhiasan terbaik bagi seseorang.

Akumulasi dari berbagai kebaikan adalah ketenangan jiwa dan mengundang simpati dari orang lain, bahkan tidak tanggung-tanggung Rasululullah shallallahu alaihi wasallam menjajikan syurga sebagaimana yang tersebut dalam sabdanya: “Barangsiapa yang menjamin bagiku apa yang ada di antara kumis dan jenggotnya (lisan dan dua bibir) dan apa yang ada di antara dua pahanya (kemaluan), maka aku jamin baginya syurga” (HR. Bukhari, At-Tirmidzi dan Ahmad). Waallahu a’lamm bissoaf.

Posting Komentar

0 Komentar