J.M.S.Baljon dan Tafsir modern di india

J.M.S.Baljon dan Tafsir modern di india

 Tafsir modern tentang al-Qur’an adalah usaha untuk menyesuaikan ayat-ayat dengan tuntunan zaman, dan hal itu benar-benar telah menjadi suatu keharusan sejak wafatnya Nabi Muhammad. Sejak kekuasaan beralih di bawah empat khalifah, situasinya berkembang ke dalam kondisi yang berbeda dengan  zaman Nabi. Karena berbagai pemikiran terkandung dalam al-Qur’an segera dirasakan membutuhkan penafsiran ulang. Tuntutan ini Orientalisme, secara etimologi berasal dar kata orient yang berarti timur dan etnologisberarti bangsa-bangsa yang ada di timur serta secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat ketimuran.

 Sedangkan secara termenologi, orientalisme dimaknai sebagai suatu cara atau metode yang digunakan untuk memahami dunia timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat, atau dapat pula dipahami sebagai suatu gaya berpikir yang dipakai berdasarkan pada perbedaaan ontologis dan epistimologis yang dibuat antara timur dan barat. Pemikiran Baljon, yang disebut sebagai semakin dirasakan perlunya setelah sentuhan dengan peradaban asing menjadi kian intensif, justru melalui ekspansi kekuataan kaum muslimin berlangsung secara cepat.

 Dalam kehidupan sosial, struktur masyarakat muslim yang tidak praktis dan kaku di abad pertengahan bertolak belakang dengan gaya hidup masyarakat Barat yang aktip dan dinamis, dan ini adalah gambaran yang menyakitkan. Namun kaum ulama menanggapi keadaan ini malahan dengan membatasi dan mengurung dirinya sendiri, terutama melalui berbagai usaha yang tidak tepat berupa sikap mempertahankan cara hidup yang berpikir tradisional, dan para mufassir al-Qur’an dengan tenangnya bersikap tidak memperdulikan tuntutan zaman.

 Dalam berbagai tulisan para ahli tafsir modern, akan dijumpai beberapa keberatan terhadap pendapat para ahli tafsir klasik, hal yang sesungguhnya memperkaya pendapat yang ada. Yang paling banyak adalah gerakan pembaharuan yang berpendapat bahwa setiap orang diperkenankan menafsirkan kitab suci. Karena penafsiran al-Qur’an bukan monopoli para imam dan para mujtahid. Oleh para ilmuan Barat, argumentasi para muslim modern pada umumnya dicemooh sebagai pembenaraan belaka. Memang, maksud baik para modernis itu diakui tetapi nilainya tak seberapa. Ada dua alasan yang menjadi penyebabnya.

 Pertama, kaum orientalis mendasarkan pendapatnya secara eksklusif pada karya kaum muslim modern yamg ditulis dalam bahasa Eropa. Alasan sederhananya, penulis terlalu sadar bahwa tulisan-tulisan itu akan dibaca oleh orang-orang Barat, dan penulis tadi  tadi harus selalu waspada untuk mempertahankan nama baik islam. Dalam pemikiran Barat, uraian yang diajukan itu tampak berlebihan serta kurang menyakinkan. Yang kedua, pada umumnya kaum orientalis Barat tidak menginsafi bahwa kebenaran tersebut memangka mengartikan agama sebagaimana adanya. Sesungguhnya agama merupakan jawaban manusia akan kenyataan-kenyataan yang sukar dimengerti.

 Pada kaum modernis,tidak menunjukkan antusias menyatakan nilai-nilai luhur yang ada dalam kitab suci al-Qur’an, tujuan penting dalam al-Qur’an adalah kesempurnaan dan kemuliaan manusia. Akibatnya, seruan tak putus-putusnya bagi nurani penganutnya ditemukan di dalamnya, bahwa seorang organisasi kemasyarakatan harus didirikan. Jadi aal-Qur’an adalah tuntunan ibadah dan tuntunan sosial, dan mengingat kenyataan bahwa perhatian masyarakat harus diarahkan pada ibadah kepada Tuhan dan tatanan sosial.

Posting Komentar

0 Komentar