Qiraat As-Sahih
Secara etimologi, kata qira’ah seakar dengan kata al-Quran, yaitu akar kata dari kata qara’a yang berarti tala (membaca). Qira’ah merupakan bentuk masdar dari kata qara’a, yaitu artinya bacaan.
Sedangkan secara terminologi, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama, sehubungan dengan pengertian qira’ah ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada rasulullah. Periode qurra’(ahli atau imam qira’ah) yang mengajarkan bacaan al-Quran kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Maka ada beberapa definisi yang diintrodusir para ulama diantaranya sebagai berikut:
Pertama, menurut Az-Zarkasyi:
Artinya:
“Qira’at adalah perbedaan-perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,seperti takhfif (meringankan) tastqil (memberatkan),dan atau yang lainnya.”
Kedua, menurut As-Shabuni:
Artinya:
“Qira’at adalah suatu madzhab pelafalan Al-Quran yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada rasul.”
Ketiga, menurut Al-Qasthalani:
Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan Lughat, I’rab, Itsbat, Fashl, dan Washal yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
Dari definisi di atas, tampak bahwa Qira’ah al-Quran itu berasal dari Nabi Saw. Melalui al-sima’ dan al-naql. Maksud dari al-sima’ disini sebagian ulama menjelaskan bahwa al-sima’ tersebut adalah Qira’ah yang diperoleh dengan cara langsung mendengar dari Nabi Saw. Sementara yang dimaksud dengan al-naql yaitu Qira’ah yang diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa Qira’ah itu dibacakan Nabi Saw.
Selain itu, ada sebagian ulama yang mengaitkan definisi Qira’ah dengan madzhab atau imam Qira’ah tertentu, selaku pakar Qira’ah yang bersangkutan,dan atau yang mengembangkan serta mempopulerkannya.
Informasi tentang Qira’at diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui pendengaran (sima’) dan naql dari Nabi oleh para sahabat mengenal bacaan ayat-ayat al-Quran, kemudian ditiru dan diikuti tabi’in dan generasi-generasi sesudahnya hingga sekarang. Cara lain ialah melalui riwayat yang diperoleh melalui hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi atau sahabat-sahabatnya.
Syarat Qiraat
Pertama, kesesuaian qiraat tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra’yu (penalaran).
Kedua, qiraat sesuai dengan salah satu mushaf Usmani, meskipun hanya sekedar mendekati saja. Sebab, dalam penulisan Mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara menulis mushaf) sesuai dengan macam-macam dialek qiraat yang mereka ketahui. Dalam menentukan qiraat yang sahih tidak disyaratkan qiraat itu harus sesuai dengan semua mushaf, cukup dengan apa yang terdapat dalam sebagian mushaf saja.
Ketiga, qiraat itu harus sahih isnadnya, sebab qiraat merupakan sunah yang diikuti yand didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari sesuatu qiraat hanya karena qiraat itu tidak sejalan dengan aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qiraat tidak menanggung beban apa pun atas keingkaran mereka itu.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalam dabit bagi qiraat yang sahih. Apbila ketiga syarat ini telah terpenuhi, yaitu: sesuai dengan bahasa Arab, sesuai dengan rasam Mushaf, dan sahih sanadnya, maka qiraat tersebut adalah qiraat yang sahih. Dan bila salah satu sayarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat itu dinamakan qiraat yang lemah, syaz atau batil.
Rukun Qiraat
Rukun pertama untuk menilai sesuatu qiraat diterima atau tidak mestilah menepati Rasm Usmani. Usman telah menghantar mushaf yang siap ditulisnya ke beberapa kota Islam. Mengikut pendapat yang masyhur, beliau telah menghantar mushaf dan seorang guru ke Mekah, Damsyiq, Kufah, Basrah dan bersamanya di Madinah. Perlu diingat semasa al-Quran ini ditulis masih terdapat 12,000 sahabat dan mereka semua bersetuju dengan tindakan Uthman dalam penulisan mushaf dan penghantarannya ke kota Islam.
Rukun kedua adalah qiraat tersebut mestilah menepati bahasa arab.
Dan rukun ketiga qiraat tersebut mestilah mempunyai sanad atau kesinambungan riwayatnya hingga sampai kepada Rasulullah SAW. Sebagai contoh Riwayat Hafs adalah bacaan al-Quran yang menepati mushaf Uthman. Riwayat itu juga menepati bahasa arab dan sanad riwayat tersebut bersambung sampai kepada Rasulullah. Di mana Hafs telah mempelajari al-Quran dari gurunya Imam Asim. Imam Asim pula mengambil bacaan ini dari gurunya yang bernama Abu Abdulrahman al-Sulami. Abu Abdulrahman al-Sulami pula mengambil daripada Ali Ibn Abi Talib dan beliau telah mengambil al-Quran daripada Rasulullah. Tiga rukun qiraat tersebut diguna oleh ulama untuk menilai qiraat sama ada ia adalah mutawatirah atau sebaliknya.
0 Komentar