Musdalifah mahasiswa ilmu Al-Qur’an dan tafsir semester VII UNISI
Qiraat syazzah
Para ulama mengklasifikasikan qira’at menjadi enam macam, yaitu sebagai beriku:
Pertama Qira‟ah Mutawatirah, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh banyak perawi yang
tidak mungkin melakukan dusta hingga sampai rawi paling atas (Rasulullah
SAW). Qiraah mutawatirah wajib diterima dan dipakai untuk membaca al-Quran.
Shihabuddin al-Qasthalani membagi qiraah mutawatirah sebagai berikut
كانت القراءات باالنسبة للتواتر وعدمو ثالثة أقسام : قسم اتفق على تواتره وىم السبعة املشهورة، وقسم اختلف فيو وىم الثالثة بعدىا،
وقسم اتفق على شذوذه وىم على العربعة الباقية
“Qiraah ditinjau dari mutawatir dan tidaknya ada tiga bagian yaitu: satu bagian
yang telah disepakati kemutawatirannya, yaitu tujuh Imam yang terkenal, bagian
kedua yang masih diperselisihkan kemutawatirannya yaitu tiga Imam setelahbagian ketiga telah disepakati sebagai qiraah syadzdzah yaitu empat Imam
qiraah yang lainnya”
Yang dimaksud dengan tiga Imam qira’at setelah tujuh imam adalah Abu Ja’far
Ibnu Qa’qa al-Madani (w. 120 H), Ya’qub al-Hadrami (w. 205), dan Khallaf al-
Bazzar (w. 229 H). Sedangkan yang dimaksud dengan empat qiraah lainnya
adalah Ibnu Muhaishin, Ibnu al-Mubarak, Ibnu Abi al-Hasan, dan Ibnu Mahram
al-‘Amasy.
Kedua, Qira‟ah mashurah, yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tapi tidak mencapai
derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab, dan sesuai dengan rasm
utsmani. Seperti qira’at yang dinisbahkan kepada tiga imam qira’at setelah tujuh
imam diatas, walaupunjumhur ulama memasukkan ketiga imam tersebut kepada
qira’ah mutawatirah.
Ketiga, Qira‟ah ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tapi menyalahi salah satu rasm
utsmani atau menyalahi kaidah bahasa arab. Seperti riwayat Ibnu Abbas tentang
bacaan al-Quran surah at-Taubah ayat 128:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang
mukmin.”
Keempat, Qira‟ah syadzdzah, yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya, walaupun sesuai
dengan kaidah bahasa arab dan rasm Utsmani. Secara bahasa kata sadzdzah
diambil dari kata:
شذ-يشذ-شذوذا، وكذلك كل شيئ منفرد فهو شاذ، وكلمة شذة
"segala sesuatu yang berbeda dengan yang laindisebut syadz seperti kalimat
sadzdzah ( kalimat yang menyalahi aturan ). Contoh qira’at syadzdzah adalah
bacaan surah al-Fatihah ayat 4:
“yang menguasai di hari Pembalasan”
ِ ِك Kata
ٰل
َ
م pada ayat ini dibaca fi’il madhi كَ
لَ
َ
م sementara kataَ
م
ْ
و
َ
ي dibaca fathah
(nasab). Qira’at seperti ini tidak bisa diterima karena sanadnya tidak sahih.
Adapun hukum qiraah syadzdzah adalah:
a. Haram dipakai dan tidak sah shalat yang menggunakan qira’at ini, karena ia
bukan termasuk bagian dari bacaan al-Quran.
b. Sebagian besar fuqaha, termasuk Imam Syafi’I, berpendapat tidak boleh
berhujjah dengan qira’at syadzdzah, karena ia tidak termasuk model bacaan
al-Quran. Tapi menurut mazhab Hanafi dibolehkan berhujjah dengan qira’at
ini dalam masalah hukum, karena qira’at syadzdzah termasuk bagian dari
tafsir.
c. Berhujjah dalam masalah bahasa dibolehkan dengan menggunakan qira’at ini.
5. Qira‟ah mudrajah, yaitu kata atau kalimat yang ditambahkan atau diselipkan pada
ayat al-Quran. Seperti bacaan Ibnu Abbas berikut ini:
6. Qiraah maudhu‟ah, yaitu qira’at yang tidak bersumber dari Nabi SAW, hanya
merupakan buatan seseorang.42 Contohnya, surah an-Nisa’ ayat 164:
“Dan (kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan
tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan
tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan
langsung.”
0 Komentar