HUBUNGAN POLITIK DAN KEAGAMAAN ANTARA KERAJAAN ISLAM

 

 

NAMA            : RUSNI

JUDUL           : HUBUNGAN POLITIK DAN KEAGAMAAN ANTARA KERAJAAN ISLAM

Hubungan antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam lainnya pertama-tama memang terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu pada mulanya, mengambil bentuk kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri. Demikianlah misalnya antara Giri dengan daerah-daerah Islam di Indonesia bagian Timur, terutama Maluku. Adalah dalam rangka penyebaran Islam itu pula, Fadhilah Khan dari Pasai datang ke Demak, untuk memperluas wilayah kekuasaan ke Sunda Kelapa.

            Dalam bidang politik, agama pada mulanya dipergunakan untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam kehidupan politik maupun ekonomi. Persekutuan antara Demak dengan Cirebon dalam menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa dapat diambil sebagai contoh. Contoh lainnya adalah persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam menghadapi Portugis dan Kompeni Belanda yang berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan.

            Meskipun demikian, kalau kepentingan politik dan ekonomi antar kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri terancam, persamaan agama tidak menjamin bahwa permusuhan tidak ada. Peperangan di kalangan kerajaan-kerajaan Islam sendiri sering terjadi. Misalnya, antara Pajang dan Demak, Ternate dan Tidore, Gowa-Tallo dan Bone. Oleh karena kepentingan yang berbeda di antara kerajaan-kerajaan itu pula, sering satu kerajaan Islam meminta bantuan pada pihak lain, terutama Kompeni Belanda, untuk mengalahkan kerajaan Islam yang lain.

            Hubungan antar kerajaan-kerajaan Islam lebih banyak terletak dalam bidang budaya dan keagamaan. Samudera Pasai dan kemudian Aceh yang dikenal dengan Serambi Makkah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam. Dari sini ajaran-ajaran Islam tersebar keseluruh pelosok Nusantara melalui karya-karya ulama dan murid-muridnya yang menuntut ilmu ke sana. Demikian pula halnya dengan Giri di Jawa Timur terhadap daerah-daerah di Indonesia bagian timur. Karya-karya sastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Tema dan isi-isi karya itu sering kali mirip antara satu dengan yang lain. Kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal ini menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.[10]

            Perdebatan antara hubungan Islam dan politik tidak akan pernah berhenti, baik itu di dunia Islam maupun di Indonesia. Di Indonesia, relasi antara Islam dan politik sudah ada semenjak Islam masuk, akan tetapi perdebatan yang sistematis baru terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Dimana perdebatan itu begitu vulgar ketika diadakannya rapat BPPUPKI dan memuncak dengan keluarnya piagam Jakarta. Namun, pada akhirnya hubungan antara Islam dan politik dalam bentuk formal tidak terealisasi dalam konstitusi Indonesia, sehingga jalan alternatifnya adalah terbentuklah Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia.

Pancasila yang bernafaskan sekuler ini sudah menjadi postulat politik bagi system politik di Indonesia, sehingga terasa tidak ada ruang lagi bagi Islam politik di Indonesia. Jika ada itu pun hanya sebatas pada tatanan subtansi bukan pada tatanan formalitas. Jadi eksistensi Islam politik Indonesia masih tahap dialektika dalam kekangan ideologi Pancasila.

Namun, cita-cita untuk mendirikan Negara Islam akan tetap selalu ada di masyarakat Indonesia. Tetapi pilihan untuk sekulerisme bukan merupakan pilihan yang buruk untuk Indonesia dalam menanggapi relasi antara Islam dan politik.

Disisi lain, peranan partai politik terutama partai-partai Islam akan tetap menghiasi perdebatan politik Islam di Indonesia. Sehingga partai-partai Islam bisa jadi indicator bahwa politik Islam tetap eksis di Indonesia.

Hubungan antara politik dan keagamaan atau politik dan Islam dengan kata lain, politik dalam Islam yang berarti ada negara dan pemerintahan dalam Islam. Pemikiran politik Islam juga pada dasarnya terpenjara pada tiga mazhab besar. Hampir-hampir seluruh artikulasi pemikiran politik Islam tidak lepas dari bayang-bayang pemikiran bahwa, Islam dan politik itu tidak bisa dipisahkan,  Islam dan politik itu bisa dipisahkan; dan Islam dan politik mempunyai keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-formalistik, tetapi substansialistik.

Ketiga mazhab tersebut dalam system politik di Indonesia. Pertama, Untuk konteks Indonesia sangat sulit untuk menghilangakan harapan-harapan dari aktivis politik Islam untuk mendirikan Negara Islam. Karena mereka menganggap bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Kedua, apabila pemisahan agama (Islam) dan politik di Indonesia dipahami dalam konteks sekulerismenya Kristen dan barat maka konsep tersebut tidak sesuai untuk budaya Indonesia. Untuk itu perlu konsep sekuler yang cocok dengan kultur di Indonesia, salah satunya adalah konsep sekulerisme yang ditawarkan oleh An Naim. Ketiga, golongan inilah yang banyak bermain dalam percaturan politik Islam di Indonesia pada saat sekarang ini, terutama dalam partai-partai Islam. Keberadan partai Islam ini kembali menghidupkan kembali atmosfir politik Islam di Indonesia. Tetapi tidak sedikit pula para aktivis politik Islam yang memanfaatkan kesempatan ini untuk kepentingan pribadi mereka.

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar