JADAL AL-QUR'AN
Ratna Apriana
A. Pendahuluan
Hakikat-hakikat yang sudah jelas nampak dan nyata telah dapat disentuh manusia, dibeberkan oleh bukti-bukti alam dan tidak memerlukan lagi argumentasi lain untuk menetapkan dalil atas kebenarannya. Namun demikian, kesombongan seringkali mendorong seseorang untuk membangkitkan keraguan dan mengajarkan hakikat-hakikat tersebut dengan berbagai keracunan yang dibungkus baju kebenaran serta dihiasi nya dalam cermin akal. Usaha demikian ini perlu dihadapi dengan hujan agar hakikat-hakikat tersebut mendapat pengakuan Yang semestinya, dipercayai atau malah diingkari. Quran Al-karim, seruan Allah kepada seluruh umat manusia, berdiri tegak di hadapan berbagai macam arus yang mengupayakan kebatilan untuk mengingkari hakikat hakikat nya dan memperdebatkan pokok-pokoknya. Karenanya ia perlu membungkam intrik-intrik mereka secara konkrit dan realistis serta menghadapi mereka dengan uslub bahasa yang memuaskan, argumentasi yang pasti dan bantahan yang tegar.
B. Pembahasan
1. Pengertian jadal Al-Qur’an
“jadal” berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa indonesia sering diartikan dengan ‘debat’. Dalam pengertian lughawi ini para ulama mengambil pengertian istilah sesuai dengan bidang masing-masing kaum teolog mendefinisikan dengan “argumentasi yang di kemukakan oleh seorang teolog untuk memperkuat pendapatnya dengan hujjah yang mematahkan pendapatnya yang menantangnya sesuai dengan cara yang berlaku di kalangan ahli kalam.”
Jenis definisi ini tidak persis seperti yang di maksud dalam kajian ‘Ulum Al-Qur’an sebab yang di perbincangkan disini bukan pendapat manusia melainkan firman Allah. Najm Al-Din Al-Tufi pernah menulis kitab khusus namun tidak tersedia di perpustakaan Indonesia. Di sinilah kesulitan mencari definisi Jadal Al-Qur’an sementara Ulum kitab lain seperti karangan Al-Burhan karangan Al-Zarkasyi, Al-Itqan karangan At-Syuyuti, Manahif Al-Irfan karangan Ar-Zarqani, Mahabitts Fi Ulum Al-Qur’an karangan Dr. Subhi Al-Shaleh, dan lain-lain. Juga tidak memberikan definisi tentang itu. Maka secara pola pikir yang dimaksud jadal Al-Qur’an ialah pola atau cara yang di gunakan al-Qur’an dalam ayat-ayat nya untuk membuktikan kebenarannya dan sekaligus mematahkan pendapatnya yang menantangnya dengan maksud menyerunya ke jalan yang benar.
Sedangkan menurut Ajahari dalam bukunya yang berjudul Ulumul Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an), secara bahasa Jadal berasal dari kata ا ًلْوُدُج – ُلُد ْج َي– َلَدَج jadal dalam arti bahasa adalah “Kusut”, dan menurut Istilah yakni perdebatan dalam suatu masalah dan berargumen untuk memenangkan perdebatan (menemui kebenaran). Adapun secara istilah Jadal atau Jidal adalah bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan. Sedangkan menurut Manna Al-Qatthan, jadal dan jidal adalah bertukar pikiran dengan cara bersaing dan berlombang mengalahkan lawan. Pengertian ini berasal dari kata-kata : حَدَلْتُ الْحَبْلُ , yakni أَحْكَمْـتُ فَتْلَهُ (aku kokohkan jalinan tali itu), mengingat kedua belah pihak yang berdebat itu mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan dari pendirian yang di peganginya.
Allah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa jadal atau berdebat merupakan salah satu tabiat manusia.
“dan manusia adalah makhluk yang paling banyak debatannya”. (QS.Al-Kahfi [18] : 54, yakni paling banyak bermusuhan dan bersaing. Rasulullah juga di printahkan untuk berdebat dengan kaum Musyrik dengan cara yang baik yang dapat meredakan keberingasan mereka.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jadal adalah suatu bentuk tukar fikiran dalam bentuk dialog, diskusi, debat dan lain sebagainya. Dengan kata lain Jadal adalah suatu tindakan dengan cara bertukar fikiran yang bertujuan untuk menyatakan suatu hal yang dianggap benar dengan mengemukakan argument atau pendapat agar pendapat kita tersebut bisa diterima pihak atau lawan bicara (pendengar).
Sedangkan yang dimaksud Jadal Al-Qur’an adalah Pembuktian-pembuktian serta pengungkapan dalil dalil yang terkandung untuk dihadapkan pada orang-orang kafir dan untuk mematahkan argumentasi para penentang dengan seluruh tujuan dan maksud mereka sehingga kebenaran ajaran-Nya dapat diterima dan melekat di hati manusia.
Jadi dapat di simpulan jadal adalah suatu perdebatan antarkelompok yang melibatkan didalamnya orang-orang yang paham secara menyeluruh tentang Al-Qur’an, orang-orang yang ahli dalam bidang pablic speaking, orang-orang yang berani mengeluarkan pendapat sendiri dan bisa menerima pendapat orang lain dalam suatu perdebatan yang topik pembicaraannya tentang Al-Qur’an tampa melibatkan perkataan yang menyinggung perasaan lawan bicara.
Ayat-ayat al-Qur’an bisa dikategorikan dalam dua bagian. Pertama, ayat-ayat yang turun dikarenakan adanya suatu sebab bersamaan dengan turunnya wahyu. Kedua, ayat-ayat yang turun lebih awal tanpa adanya peristiwa yang mendahului atau pertanyaan yang membutuhkan hukum. Secara umum karateristik ayat-ayat yang turun tanpa didahului peristiwa atau adanya pertanyaan adalah seperti tentang kisah-kisah para nabi terdahulu dan umatnya, atau menjelaskan peristiwa masa lampau, atau berita-berita ghaib yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Begitu juga ayat-ayat yang menjelaskan hari kiamat, nikmat surga dan azab neraka. Ayat-ayat yang turun mengenai persoalan di atas bukan merupakan jawaban atas suatu pertanyaan atau penjelasan peristiwa yang terjadi.
Dalam konteks ini, Imam as-Suyuthi didalam al-Itqaan menegaskan: “Ayat-ayat yang turun tidak bersamaan dengan waktu terjadinya suatu peristiwa bukan termasuk asbabun nuzul”. Dengan penegasan ini, ia mengomentari penafsiran al-Wahidiy dalam bukunya Asbab al-Nuzul menyangkut surat al-Fil bahwa sebab turunnya surat itu adalah kisah penyerbuan Ka’bah oleh pasukan Abrahah. Selanjutnya al-Suyuthi mengatakan “peristiwa itu tidak termasuk asbabun nuzul, tetapi merupakan berita masa lalu. Sama halnya dengan kisah kaum Nabi Nuh, Tsamud, ‘Ad, pembangunan Ka’bah dan kisah pengangkatan Nabi Ibrahim sebagai khalil dalam surat al-Nisa ayat 125”.
Sebagai contoh konkret, berikut ini penulis kemukakan dua bentuk asbab nuzul. Pertama adalah contoh peristiwa:
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas bahwa Hilal bin Umayyah telah menuduh istrinya berselingkuh dihadapan Nabi saw dengan Syuraik bin Samha’, Nabi saw mengatakan “apakah ada bukti?, jika tidak ada punggungmu akan didera”, kemudian ia berkata” wahai Rasulullah, apabila salah seorang diantara kami melihat seorang kali-laki mendatangi istrinya, apa ia harus mencari bukti?”, kemudian turun ayat (orang-orang yang menuduh istrinya..)
Kedua, adalah contoh pertanyaan : “Telah meriwayatkan dan mensahihkan Imam Tirmizi akan hadis yang diterima dari Ibn ‘Abbas bahwa : “orang Quraisy berkata kepada orang Yahudi; “berilah kami suatu persoalan yang akan kami pertanyakan kepada orang ini”(Nabi Muhammad saw), orang yahudi itu menjawab; “tanyakan lah tentang ruh”, kemudian orang Quraisy bertanya kepada Nabi saw, maka Allah menurunkan ayat “mereka bertanya kepadamu tentang ruh”…
2. Macam-macam Jadal dalam Al-Qur’an
a. Menyebutkan ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah melakukan perhatian dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetapan dasar-dasar akidah, seperti ketauhidan Allah dalam uluhiyah-Nya dan keimana kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian.
Misalnya firman Allah :
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ (21) الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَاۤءَ بِنَاۤءً ۖوَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَخْرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۚ فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ (22)
"Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa.(Dialah) yang menjadikan bumi (sebagai) hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untuk kamu. Oleh karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (Al-Baqarah [2]:21-22)
وَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ لَآاِلٰهَ اِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ(163) اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ (164)
"Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada tuhan selain Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti." (Al-Baqarah [2]:163-164)
b. Membantah pendapat para penentang dan lawan, serta mematahkan argumentasi . Perdebatan macam ini mempunyai beberapa bentuk:
1) Membungkam lawan bicara dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang telah diakui dan diterima baik oleh akal, agar iya mengakui apa yang tadinya di ingkari, seperti penggunaan dalil dengan makhluk untuk menetapkan adanya Khalik. Misalnya ayat: “Apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka menciptakan (diri mereka sendiri)?Apakah mereka menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).Apakah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu ataukah mereka yang berkuasa? Apakah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mendengarkan (hal-hal yang gaib)? Hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka itu datang membawa keterangan yang nyata.Apakah (pantas) bagi-Nya anak-anak perempuan, sedangkan untuk kamu anak-anak laki-laki?Apakah engkau (Nabi Muhammad) meminta imbalan kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan utang?Apakah mereka mempunyai (pengetahuan) tentang yang gaib, lalu mereka menuliskannya?Apakah mereka hendak melakukan tipu daya? Justru orang-orang yang kufur itulah yang terkena tipu daya. Apakah mereka mempunyai tuhan selain Allah? Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Aṭ-Ṭūr [52]:35-43)
2) Mengambil dalil dengan mabda’ (asal mula kejadian) untuk menetapkan Ma’had (hari kebangkitan). Misalny firman Allah: “Apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama? (Sama sekali tidak,) bahkan mereka dalam keadaan ragu tentang penciptaan yang baru.” (Qāf [50]:15)
3) membatalkan pendapat Lawan dengan membuktikan (kebenaran) kebalikannya. Seperti: “Mereka (Bani Israil) tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya ketika mereka berkata, “Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.” Katakanlah (Nabi Muhammad), “Siapakah yang menurunkan kitab suci (Taurat) yang dibawa Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia? Kamu (Bani Israil) menjadikannya lembaran-lembaran lepas. Kamu memperlihatkan (sebagiannya) dan banyak yang kamu sembunyikan, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang tidak diketahui baik olehmu maupun oleh nenek moyangmu.” Katakanlah, “Allah.” Kemudian, biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (Al-An‘ām [6]:91) Ayat ini merupakan bantahan terhadap benderang orang Yahudi, sebagaimana ceritakan oleh dalam firman-Nya: “Mereka (Bani Israil) tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya ketika mereka berkata, “Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.” (Al-An‘ām [6]:91)
4) Menghimpun dan memerinci (as-sabr wat taqsim), yakni menghimpun beberapa sifat dan menerangkan bahwa sifat-sifat tersebut bukanlah ‘illah, alasan hukum, firman-Nya: “Ada delapan hewan ternak yang berpasangan (empat pasang, yaitu) sepasang domba dan sepasang kambing. Katakanlah, “Apakah yang diharamkan Allah itu dua yang jantan, dua yang betina, atau yang ada dalam kandungan kedua betinanya? Terangkanlah kepadaku berdasarkan pengetahuan jika kamu orang yang benar.”(Dua pasang lagi adalah) sepasang unta dan sepasang sapi. Katakanlah, “Apakah yang diharamkan dua yang jantan, dua yang betina, atau yang ada dalam kandungan kedua betinanya? Apakah kamu menjadi saksi ketika Allah menetapkan ini bagimu? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah untuk menyesatkan orang-orang tanpa pengetahuan?” Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-An‘ām [6]:143-144)
5) Membungkam lawan dan mematahkan hujannya dengan menjelaskan bahwa pendapat yang dikemukakan yaitu menimbulkan suatu pendapat dan tidak diakui oleh siapapun. Misalnya: “Mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin sekutu-sekutu bagi Allah, padahal Dia yang menciptakannya (jin-jin itu). Mereka berbohong terhadap-Nya (dengan mengatakan bahwa Allah mempunyai) anak laki-laki dan anak perempuan, tanpa (dasar) pengetahuan.255) Mahasuci dan Mahatinggi Dia dari sifat-sifat yang mereka gambarkan.Dia (Allah) pencipta langit dan bumi. Bagaimana (mungkin) Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri? Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-An‘ām [6]:100-101)
3. Metode Jadal dalam Al-Qur’an
Qur’an Al-karim dalam berdebat dengan para penentangnya banyak mengemukakan dalil dan bukti kuat serta jelas yang dapat dimengerti kalangan awam dan ahli. Ia membatalkan setiap keracuan vulgar dan mematahkan dengan perlawanan dan pertahanan dalam uslub yang konkret hasilnya, pindah susunannya dan tidak memerlukan pemerasan akal atau banyak penyelidikan.
Qur’an tidak menempuh metode yang dipegang teguh oleh para ahli kalam yang memerlukan adanya mukadimah (premis) dan natijah (konklusi), seperti dengan cara ber-Istidlal (inferensi) dengan sesuatu yang bersifat Kulliy (universal) atas yang juz’iy (partial) dalam qiyas syumul, beristidlal dengan salah satu dua juz’iy atas yang lain dalam qiyas tamsil, atau beristidlal dengan juz’iy atas Kulliy dalam qiyas istiqra’. Hal ini disebabka:
a. Quran datang dalam bahasa Arab dan menyuruh mereka dengan bahasa yang mereka ketahui.
b. Bersandar pada fitrah jiwa, yang percaya kepada apa yang disaksikan dan dirasakan, tanpa perlu penggunaan pemikiran mendalam dalam beristidlal adalah lebih kuat pengaruhnya dan lebih efektif hujjannya.
c. Meninggalkan pembicaraan yang jelas, dan mempergunakan tutur kata yang jlimet dan pelit, merupakan keracuan dan teka-teki yang hanya dapat dimengerti kalangan ahli (khas). Cara demikian yang biasa ditempuh para ahli mantiq (logika) ini tidak sepenuhnya benar. Karena itu dalil-dalil tentang tauhid dan hidup kembali di akhirat yang diungkapkan dalam Quran merupakan dalalah tentu yang dapat memberikan makna yang ditunjukkan nya secara otomatis tanpa harus memasukkannya kedalam qadiyah kulliyah (universal proposition).
4. Faedah Penyampaian Jadal Al-Qu’an
Jadal Al-Qur’an memiliki berbagai hikmah, yang dapat ditangkap dari ayat-ayat Al-Qur’anyang mengandung atau yang bemuansa Jadal, di antaranya adalah :
a. Sebagai jawaban atau untuk mengungkapkan kehendak Allah dalam rangka penetapan dan pembenaran aqidah dan qaidah syari’ah dari persoalan-persoalan yang dibawa dan dihadapi para Rasul, Nabi dan orang-orang shaleh. Sekaligus sebagai bukti-bukti dan dalil-dalil yang dapat mematahkan dakwaan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kalangan umat manusia sehingga menjadi jelas jalan dan petunjuk ke arah yang benar. Jadal dengan tujuan seperti ini dapat dicermati contohnya mengenai dialog Nabi Musa a.s. dengan Fir’aun (QS. Al- Syu’ara’/26: 10-51).
b. Sebagai layanan dialog bagi kalangan yang memang benar-benar ingin tahu, ingin mengkaji sesuatu persoalan secara nalar yang rasional , atau melalui ibarat maupun melalui do’a. Dari dialog-dialog tersebut, kemudian hasilnya dapat dijadikan pegangan, nasehat dan semacamnya. Untuk tujuan seperti ini dapat dijadikan contohnya adalah penjelasan Allah SWT. Atas persoalan kegelisahan Nabi Ibrahim a.s. yang ingin menambah keyakinannya dan ketenangannya dengan mengetahui bagaimana Allah menghidupkan makhluk-Nya yang telah mati (QS. Al-Baqarah/2 :260, juga dapat dilihat pada ayat 30 surat yang Sama sebagai contoh lainnya.
c. Untuk menangkis dan melemahkan argumentasi-argumentasi orang kafir yang sering mengajukan pertanyaan atau permasalahan dengan jalan menyembunyikan kebenaran yang memang disinyalir dalam al-Qur’an Wajaadiluu bi al Baathil liyudhiduu bihi al haq (QS. Al-Mukmin [40] : 5). Sebagai contoh jadal dengan tujuan seperti ini bisa dilihat dalam QS. Al Mukminun [23] : 81-83 dan QS. Qāf [50] : 12-15 serta QS. Yasiin [36] : 78-79.
C. Penutup
Jadi dapat di simpulan jadal adalah suatu perdebatan antarkelompok yang melibatkan didalamnya orang-orang yang paham secara menyeluruh tentang Al-Qur’an, orang-orang yang ahli dalam bidang pablic speaking, orang-orang yang berani mengeluarkan pendapat sendiri dan bisa menerima pendapat orang lain dalam suatu perdebatan yang topik pembicaraannya tentang Al-Qur’an tampa melibatkan perkataan yang menyinggung perasaan lawan bicara.
Daftar Pustaka
Ajahari. (2018). Ulumul Qur’an (Ilmui-ilmu Al-Qur’an). Yogyakarta: Aswaja Pessindo.
Al-Qatthan, Manna Khali. (1996). Studi Ilmu Qur’an. Bogor: Litera AntarNusa.
Baidan, Nashruddin. (2011). Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syafril. 2018. Asbabun Nuzul: Kajian Historis Turunnya Ayat Al-Qur’an. Jurnal Syahadah. Vol. VI. No. 2
0 Komentar