SIGHAT QASAM DALAM AL-QUR’AN Mar’atushaleha
A. Pendahuluan
Kesiapan jiwa setiap individu dalam menerima kebenaran dan tunduk terhadap cahayanya itu berbeda-beda. Jiwa yang jerni yang fitrahnya tidak ternoda akan segera menyambut petunjuk dan membukakan pintu hati bagi sinarnya serta berusaha mengikutinya sekalipun petunjuk sampai kepadanya hanya sepintas kilas. Sedangkan jiwa yang tertutup awan kejahilan dan diliputi gelapnya kebatilan tidak akan tergoncang hatinya kecuali dengan pukulan peringatan dan bentuk kalimat yang kuat lagi kokoh, sehingga dengan demikian barulah tergoncang keingkarannya. Qasam (sumpah) dalam pembicaraan, termasuk salah satu uslub pengukuhan kalimat yang diselingin dengan bukti kongkrit dan dapat menyeret lawan untuk mengakui apa yang di ingkarinya.
Para ulama telah sepakat, bahwa sumpahnya sang pencipta dengan suatu makhlu-Nya adalah dimasudkan untuk mengagungkan tema sumpah itu, maka seorang mukmin tidak boleh bersumpah dengan sesuatu selain menyebut nama Allah ‘Azza wa jalla, sebab yang demikian itu dilarang oleh Allah SWT karena telah melanggar syari’at, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sebuah hadits shahih yang di riwayatkan oleh Ibnu Umar : “ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah telah melarang kalian untuk bersumpah dengan nenek moyang kalian, maka barangsiapa yang hendak bersumpah hendaklah bersumpah dengan nama Allah atau diam (tidak sama sekali).” Dalam hadits lain disebutkan, bahwa Ibnu Umar mendengar seorang laki-laki mengatakan : “tidak, demi ka’bah,” lalu Ibnu Umar berkata : “janganlah engakau bersumpah dengan selain Allah, karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “barangsiapa bersumpah dengan selain Allah berarti ia telah kufur atau syirik.”
Para ulama mengatakan : rahasia larangan bersumpah dengan selain Allah, karena bersumpah dengan sesuatu itu berarti mengagungkannya, sedangkan hakekatnya keagungan itu hanya milik Allah semata.
B. Definisi Sighat Qasam Al-Qur’an
Aqsam adalah bentuk jamak dari kata qasam (sumpah). Para pakar gramatika bahasa Arab mengartikan qasam dengan kalimat yang berfungsi menguatkan berita, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, sumpah (qasam) didefinisikan dengan pernyataan yang di ucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada tuhan atau sesuatu yang dianggap suci bahwa apa yang dikaitkan atau di janjikan itu benar. Sedangkan menurut Manna al-Qathathan, qasam semakna dengan hilf dan yamin, yakni sumpah. Sumpah di namakan dengan al-yamin (tangan kanan), karena orang arab kalau bersumpah saling memegang tangan kanan masing-masing. Kata al-yamin disebutkan dalam surah an-Nahl ayat 38
, وَاَقْسَمُوْا بِاللّٰهِ جَهْدَ اَيْمَانِهِمْۙ لَا يَبْعَثُ اللّٰهُ مَنْ يَّمُوْتُۗ بَلٰى وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
Artinya : “mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati”. (tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
sedangkan penggunaan kata al-hilf di temukan dalam surah at-Taubah ayat 62,
يَحْلِفُوْنَ بِاللّٰهِ لَكُمْ لِيُرْضُوْكُمْ وَاللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَحَقُّ اَنْ يُّرْضُوْهُ اِنْ كَانُوْا مُؤْمِنِيْنَ
“mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridhaanmu, padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin.”
Secara terminology menurut para ahli mendefinisikan qasam sebagai berikut:
1. Menurut az-Zakarsyi, qasam adalah حملة يؤكدبهاالخبر artinya suatu kalimat yang menguatkan terhadap suatu berita.
2. Menurut as-Suyuthi, qasam adalah تحقيق الخبر وتو كيده artinya penegasan suatu berita.
3. Abdul Djalal mendefinisikan qasam ialah meningkatkan jiwa untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan atau untuk mengerjakannya, yang di perkuat dengan sesuatu yang di agungkan bagi orang yang bersumpah, baik secara nyata ataupun suatu keyakinan.
Dari pengertian qasam yang di kemukakan oleh para ahli diatas itu tampak seakan-akan mereka menyamakan qasam dalam al-Qur’an dengan sumpah yang di lakukan oleh manusia, yakni sama-sama bertujuan menguatkan isi informasi atau pesan yang disampaikan kepada pihak lain. Disini kita tidak sependapat dengan para ahli tersebut, sebab dalam pendapat serupa itu tersirat seakan-akan Tuhan juga besifat bohong. تَعَالَى اللَهُ عَنْ ذَلِكَ (Maha Tinggi dan Maha Suci Allah dari anggapan demikian), padahal sebagaimana ditegaskan di muka bumi bahwa Allah itu Maha Benar secara mutlak dalam arti yang sesugguhnya dan seluas-luasnya, jadi sedikitpun tak ada kecurangan apalagi bohong dari pihak Allah. Jika demikian halnya, maka konotasi sumpah dalam al-Qur’an berbeda sama sekali dari sumpah yang di lakukan oleh manusia.
Sebagaimana di tegaskan Nabi saw dalam sebuah haditsnya yang di riwayatkan oleh al-Tirmidzi dari ‘Umar Bin al-Khaththab :
عَنْ عُمَرَ بْنِالْخَطَّابِ رضع، اَنْ النَبِيَّ ص م قَالَ : "مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ ااَوْ اَشْرَكَ" (رواه التر مذى حسنه و الحاكم)
Artinya : “(diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab, bahwa Nabi saw telah bersabda : “barang siapa bersumpah atas nama selain Allah maka dia telah kafir atau musyrik).” (HR.al-Tirmidzi)
katanya hadits ini hasan, dan al-Hakim menyatakan hadits shahih). Al-Hakim juga meriwayatkan dari al-Hasan :
اِنَّ اللَّهَ يُقْسِمُ بِمَاشَاءَ مِنْ خَلْقِهِ وَلَيْسَ لِأَحَدَ أَنْ يُقْسِمُ إلاَّ بِاللَّهِ Artinya: “(sesungguhnya Allah bersumpah dengan apa saja yang di kehendaki-Nya diantara makhluk-makhluk-Nya; sebaliknya tidak seorang pun di antara manusia boleh bersumpah kecuali atas nama Allah).”
Jadi dapat di simpulkan qasam dalam Al-Qur’an adalah setiap wahyu Allah dalam Al-Qur’an atau hadits qudsi yang di ungkapkan dalam bentuk kalimat sumpah. Jadi apabila menemui suatu kalimat yang berisi sumpah, tapi tidak wahyu Allah kepada Nabi Muhammad, maka kalimat itu tidak disebut sumpah dalam Al-Qur’an; begitu pula jika menemukan wahyu, tapi tidak dalam bentuk sumpah , juga tidak dapat disebut sumpah . dan sumpah yang di lakukan manusia, dapat kita artikan qasam (sumpah) yaitu sesuatu yang memberikan penegasan terhadap suatu ungkapan atau pesan dan meyakinkan kepada orang lain bahwa yang di sampaikannya itu benar atau dapat di percayai.
C. Unsur-unsur Sighat Qasam dan Ungkapannya
1. Fi’il (kata kerja) transitif huruf ba’
Bentuk asal aqsam adalah fi’il, aqsam atau yang menggunakan trasitif dengan ba’ kemudia disusul dengan muqsam bih dan muqsam alaih yang di namakan juga jawab qasam, misalnya:
وَاَقْسَمُوْا بِاللّٰهِ جَهْدَ اَيْمَانِهِمْۙ لَا يَبْعَثُ اللّٰهُ مَنْ يَّمُوْتُۗ بَلٰى وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
“mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati.” (QS.An-Nahl [16]: 38)
Selanjutnya, huruf qasam ba’ diganti wawu apabila muqsamnya terdiri atas isim dhamir (kata ganti). Kadang kala huruf ba’ diganti oleh huruf ta’ apabila muqsam-nya lafal jalalah, contohnya di dalam surah Yusuf (12) : 73:
قَالُوْا تَاللّٰهِ لَقَدْ عَلِمْتُمْ مَّا جِئْنَا لِنُفْسِدَ فِى الْاَرْضِ وَمَا كُنَّا سٰرِقِيْنَ “Saudara-saudara Yusuf menjawab: “demi Allah sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan di negeri (ini) dan kami bukanlah para pencuri.”
2. Muhkam bih (sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah)
Telah di jelaskan bahwa Allah dapat bersumpah secara bebas dengan apa dan siapa pun, maksudnya Allah dapat bersumpah dengan diri-Nya sendiri, dengan sifat-sifat-Nya dan dengan sebagian makhluk-Nya. Sumpah dengan sebagian makhluk-Nya itu menunjukkan bahwa makhluk itu merupakan salah satu dari keagungan-Nya. Jadi, Allah tidak terhalang bersumpah dengan apa dan siapa, tetapi manusia tidak di perkenankan bersumpah kecuali atas nama Allah saja. Di dalam Al-Qur’an, Allah bersumpah dengan diri-Nya sendiri terdiri dari tujuh tempat yaitu :
a. QS. Adz-Dzariyat (51) : 23 :
فَوَرَبِّ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ اِنَّهٗ لَحَقٌّ مِّثْلَ مَآ اَنَّكُمْ تَنْطِقُوْنَ ࣖ “Maka, demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya (apa yang dijanjikan kepadamu itu) pasti akan nyata seperti (halnya) kamu berucap.” (Aż-Żāriyāt [51]:23)
b. QS. Yunus (10) : 53 :
۞ وَيَسْتَنْۢبِـُٔوْنَكَ اَحَقٌّ هُوَ ۗ قُلْ اِيْ وَرَبِّيْٓ اِنَّهٗ لَحَقٌّ ۗوَمَآ اَنْتُمْ بِمُعْجِزِيْنَ ࣖ “Mereka menanyakan kepadamu (Nabi Muhammad), “Benarkah ia (azab yang dijanjikan Allah) itu?” Katakanlah, “Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya (azab) itu pasti benar dan sekali-kali kamu tidak dapat menghindar.”(Yūnus [10]:53)
c. QS.At-Taghabun (64) : 7:
زَعَمَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنْ لَّنْ يُّبْعَثُوْاۗ قُلْ بَلٰى وَرَبِّيْ لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْۗ وَذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ
“Orang-orang yang kufur mengira bahwa sesungguhnya mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tidak demikian. Demi Tuhanku, kamu pasti akan dibangkitkan, kemudian pasti akan diberitakan apa yang telah kamu kerjakan.” Yang demikian itu mudah bagi Allah.” (At-Tagābun [64]:7)
d. QS. Maryam (19) : 68 :
فَوَرَبِّكَ لَنَحْشُرَنَّهُمْ وَالشَّيٰطِيْنَ ثُمَّ لَنُحْضِرَنَّهُمْ حَوْلَ جَهَنَّمَ جِثِيًّا
“Maka, demi Tuhanmu (Nabi Muhammad), sungguh, Kami pasti akan mengumpulkan mereka bersama setan, kemudian pasti Kami akan mendatangkan mereka ke sekeliling Jahanam dengan tersungkur.” (Maryam [19]:68)
e. QS. Al-Hijr (15) : 92 :
فَوَرَبِّكَ لَنَسْـَٔلَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ
“Maka, demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua.” (Al-Ḥijr [15]:92)
f. QS. An-Nisa (4) : 65 :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga bertahkim kepadamu (Nabi Muhammad) dalam perkara yang diperselisihkan di antara mereka. Kemudian tidak ada keberatan dalam diri mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka terima dengan sepenuhnya.” (An-Nisā’ [4]:65)
g. QS. Al-Ma’arij (70) : 40 :
فَلَآ اُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشٰرِقِ وَالْمَغٰرِبِ اِنَّا لَقٰدِرُوْنَۙ
“Maka, Aku bersumpah dengan Tuhan yang mengatur tempat-tempat terbit dan terbenamnya (matahari, bulan, dan bintang), sesungguhnya Kami benar-benar Mahakuasa.” (Al-Ma‘ārij [70]:40).
Di dalam Al-Qur’an, Allah juga bersumpah dengan makhluk-makhluk-Nya. Contoh :
a. QS. Asy-Syams (91) : 1-6 :
وَالشَّمْسِ وَضُحٰىهَاۖ (1) وَالْقَمَرِ اِذَا تَلٰىهَا (2) وَالنَّهَارِ اِذَا جَلّٰىهَاۖ (3) وَالَّيْلِ اِذَا يَغْشٰىهَاۖ (4) وَالسَّمَاۤءِ وَمَا بَنٰىهَاۖ (5) وَالْاَرْضِ وَمَا طَحٰىهَاۖ (6) Artinya: “Demi matahari dan sinarnya pada waktu duha (ketika matahari naik sepenggalah), Demi bulan saat mengiringinya, Demi siang saat menampakkannya, Demi malam saat menutupinya (gelap gulita), Demi langit serta pembuatannya, Demi bumi serta penghamparannya.”
b. QS. Al-Lail (92) : 1-3 :
(وَالَّيْلِ اِذَا يَغْشٰىۙ(1) وَالنَّهَارِ اِذَا تَجَلّٰىۙ (2) وَمَا خَلَقَ الذَّكَرَ وَالْاُنْثٰىٓ ۙ (3) Artinya: “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), Demi siang apabila terang benderang, Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan.”
c. QS. Al-Fajr (89) : 1-4 :
وَالْفَجْرِۙ(1) وَلَيَالٍ عَشْرٍۙ (2) وَّالشَّفْعِ وَالْوَتْرِۙ (3) وَالَّيْلِ اِذَا يَسْرِۚ (4) Artinya: “Demi waktu fajar, Demi malam yang sepuluh, Demi yang genap dan yang ganjil, dan demi malam apabila berlalu.”
d. QS. At-Takwir (81) : 15 :
فَلَآ اُقْسِمُ بِالْخُنَّسِۙ “Aku bersumpah demi bintang-bintang.” (At-Takwīr [81]:15)
e. QS. At-Tin (95) : 1-2 :
وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِۙ(1) وَطُوْرِ سِيْنِيْنَۙ (2) Artinya: “Demi (buah) tin dan (buah) zaitun. Demi gunung Sinai.”
Terhadap peryataan “mengapa Allah bersumpah dengan menyebut makhluk-makhluk-Nya. Padahal ada larangan untuk bersumpah dengan menyebut selain nama Allah.” As-Suyuthi mengemukakan jawaban sebagai berikut:
a. Ada kata yang dibuang pada ungkapan demi buah tin dan demi buah zaitun, yakni kata pemilik. Jadi, ungkapan yang sebenarnya adalah demi pemilik buah tin dan demi pemilik buah zaitun.
b. Orang-orang Arab bisa mengungkapkan benda itu dan menjadikannya sumpah. Karena itu Al-Qur’an pun turun dengan ungkapan sumpah yang mereka kenal.
c. Sumpah di lakukan dengan menyebut sesuatu yang di agungkan dan di muliakan kedudukannya berada diatas orang yang bersumpah, sedangkan bagi Allah tidak ada sesuatupun yang kedudukan-Nya yang lebih mulia. Karena itu, ia terkadang bersumpah dengan menyebut nama ciptaan-Nya.
Para ulama menuturkan bahwa Allah bersumpah pula dengan menyebut Nabi pada firman-Nya : “demi umurmu (Muhammad)” agar orang-orang mengetahui keagungan Nabi Muhammad Saw, disi Allah Swt.
Ibnu Mardawiyyah pun mengeluarkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa Allah tidak pernah memuliakan makhluk-Nya melebihi Nabi Muhammad Saw. Tidak pernah mendengan pula bahwa Allah bersumpah dengan menyebut seseorang selain Nabi Muhammad Saw. Disebutkan dalam QS. Al-Hijr (15) : 72:
لَعَمْرُكَ اِنَّهُمْ لَفِيْ سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُوْنَ "(Allah berfirman,) “Demi umurmu (Nabi Muhammad), sungguh, mereka terombang-ambing dalam kemabukan (demi melampiaskan hawa nafsu).”(QS. Al-Ḥijr [15]:72)
Ibnu Abi al-Ashna’ menuturkan dalam Asrar al-Fawatih bahwa bersumpah dengan makhluk berarti juga bersumpah dengan penciptanya (Khaliq) sebab menuturkan objek dengan sendirinya berarti menuntut subjek. Mustahil keberadaan objek tanpa keberadaan subjek.
3. Muqsam alaih (jawab qasam)
Muqsam alaih yaitu sesuatu yang di lakukan sumpah, atau kata lain terhadapnya, sesuatu yang di perkuat dengan sumpah.untuk itu, tidak tepat di fungsikan, kecuali menyangkut hal-hal berikut:
a. Hendaklah yang di sumpah atasnya memiliki kepentingan tersendiri.
b. Hendaklah lawan bicara berada dalam kondisi marah, pembicaraan.
c. Lawan bicara tidak percaya terhadap isi pembicaraan.
Didalam Al-Qur’an, secara garis besar, Allah bersumpah tentang hal-hal sebagai berikut:
a. Ketahuilah seperti dalam surah Ash-Shaffat (37) ayat 1-4: وَالصّٰۤفّٰتِ صَفًّا(1) فَالزّٰجِرٰتِ زَجْرًاۙ (2) فَالتّٰلِيٰتِ ذِكْرًاۙ (3) اِنَّ اِلٰهَكُمْ لَوَاحِدٌۗ (4) “Demi (rombongan malaikat) yang berbaris bersaf-saf (untuk beribadah kepada Allah), Demi (rombongan malaikat) yang mencegah (segala sesuatu) dengan sungguh-sungguh, Demi (rombongan malaikat) yang membacakan peringatan, Sungguh, Tuhanmu benar-benar Esa.”
b. Kebenaran Al-Qur’an dalam surah Al-Waqi’ah (56) ayat 75-77:
۞ فَلَآ اُقْسِمُ بِمَوٰقِعِ النُّجُوْم(75) وَاِنَّهٗ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُوْنَ عَظِيْمٌۙ (76) اِنَّهٗ لَقُرْاٰنٌ كَرِيْمٌۙ (77)
“Aku bersumpah demi tempat beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang sangat besar seandainya kamu mengetahui. Sesungguhnya ia benar-benar Al-Qur’an yang sangat mulia.”
c. Kebenaran Rasulullah Saw. Seperti dalam surah Yaasin (36) ayat 1-3: يٰسۤ ۚ(1) وَالْقُرْاٰنِ الْحَكِيْمِۙ (2) اِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِيْنَۙ (3) “Yā Sīn. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah, Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) benar-benar salah seorang dari rasul-rasul.”
d. Kebenaran adanya pembalasan, janji, dan ancaman seperti terdapat dalam surah Al-Murshalat (77) ayat 1-7:
وَالْمُرْسَلٰتِ عُرْفًاۙ(1) فَالْعٰصِفٰتِ عَصْفًاۙ (2) وَّالنّٰشِرٰتِ نَشْرًاۙ (3) فَالْفٰرِقٰتِ فَرْقًاۙ (4) فَالْمُلْقِيٰتِ ذِكْرًاۙ (5) عُذْرًا اَوْ نُذْرًاۙ (6) اِنَّمَا تُوْعَدُوْنَ لَوَاقِعٌۗ (7) “Demi (malaikat-malaikat) yang diutus untuk membawa kebaikan dan (malaikat-malaikat) yang terbang dengan kencang;Demi (malaikat-malaikat) yang menyebarkan (rahmat Allah) dengan seluas-luasnya, dan (malaikat-malaikat) yang membedakan (antara yang baik dan yang buruk) dengan sejelas-jelasnya, Serta (malaikat-malaikat) yang menyampaikan wahyu untuk (menolak) alasan atau (memberi) peringatan, Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti terjad.”
e. Keadaan manusia, seperti dalam surah At-Tin (95) ayat 1-4:
وَالتِّيْنِ وَالزَّيْتُوْنِۙ(1) وَطُوْرِ سِيْنِيْنَۙ (2) وَهٰذَا الْبَلَدِ الْاَمِيْنِۙ (3) لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ (4) “Demi (buah) tin dan (buah) zaitun. Demi gunung Sinai. Demi negeri (Makkah) yang aman ini. Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Variasi muqsam alaih (jawaban qasam) yang terdapat dalam Al-Qur’an dapat di jelaskan sebagai berikut:
a. Jawaban qasam terkadang di sebutkan dan ini yang umumnya terjadi terkadang pula di buang, seperti terdapat pada firman Allah: كَلَّا لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِۗ “Sekali-kali tidak (jangan melakukan itu)! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti, (niscaya kamu tidak akan melakukannya).” (At-Takāṡur [102]:5) Dengan di buangnya jawab lau (لَوْ), ayat ini memperlihatkan redaksi yang paling baik karena di dalamnya dibicarakan persoalan yang sangat agung. Di antara contoh jawaban qasam yang di buang adalah firman Allah pada surat Al-Fajr (89) ayat 1-6:
وَالْفَجْرِۙ(1) وَلَيَالٍ عَشْرٍۙ (2) وَّالشَّفْعِ وَالْوَتْرِۙ (3) وَالَّيْلِ اِذَا يَسْرِۚ (4) هَلْ فِيْ ذٰلِكَ قَسَمٌ لِّذِيْ حِجْرٍۗ (5) اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍۖ (6) “Demi waktu fajar, Demi malam yang sepuluh, Demi yang genap dan yang ganjil, dan demi malam apabila berlalu. Apakah pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh (orang) yang berakal? Tidakkah engkau (Nabi Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) ‘Ad.”
b. Fi’il madhi (bentuk lampau) mutsabit (tidak di dahului huruf lain) dan mutasharrif (yang dapat di derivasi) yang tidak mendahului ma’mul-Nya, apabila menjadi jawab qasam, harus disertai dengan lam dan qad (laqad). Tidak boleh menyertakan satu saja dari keduanya kecuali berada dalam uraian yang panjang seperti firman Allah pada surah Asy-Syams (91) ayat 1-9:
وَالشَّمْسِ وَضُحٰىهَاۖ (1) وَالْقَمَرِ اِذَا تَلٰىهَا (2) وَالنَّهَارِ اِذَا جَلّٰىهَاۖ (3) وَالَّيْلِ اِذَا يَغْشٰىهَاۖ (4) وَالسَّمَاۤءِ وَمَا بَنٰىهَاۖ (5) وَالْاَرْضِ وَمَا طَحٰىهَاۖ (6) وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ (7) فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ (8) قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ (9) “Demi matahari dan sinarnya pada waktu duha (ketika matahari naik sepenggalah), Demi bulan saat mengiringinya, Demi siang saat menampakkannya, Demi malam saat menutupinya (gelap gulita), Demi langit serta pembuatannya, Demi bumi serta penghamparannya, Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya, Lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu).”
D. Macam-macam Sighat Qasam Al-Qur’an
Sighat qasam dalam al-qur’an terdapat dua macam yaitu qasam dzahir dan qasam mudwar, untuk dapat memahami macam-macam qasam secara jelas sebagai berikut :
1. Qasam Dzahir, yaitu qasam yang fi’il qasam dan muqsambih-nya jelas terlihat dan disebutkan; atau qasam yang fi’il qasam-nya tidak di sebutkan, tetapi diganti dengan huruf qasam, yaitu ba, ta, dan wawu. Di dalam beberapa tempat terdapat fi’il qasam yang di dahului dengan la nafiyah, seperti firman Allah pada surah Al-Qiyamah (75) ayat 1-2 : لاَاُقْسِمُ بِيَوْمِ القِيَامَهُ, وَلاَ اُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ . “aku bersumpah demi hari kiamat. Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”
Ada tiga pendapat yang berbeda tentang status la nafi pada ayat di atas, yaitu:
a. La disini menafikan makna ungkapan yang di buang. Ungkapan yang di buang itu dapat diketahui dengan dapat melihat konteks kalimat. Dengan demikian, sebelum ayat tersebut di atas, ada ungkapan di buang yang berbunyi: “tidak benar perkiraan mereka bahwa perhitungan dan siksaan itu sesungguhnya tidak ada.”
b. La di sini adalah menafikan qasam itu sendiri, seakan-akan Allah Swt. Berfirman: “saya tidak bersumpah kepadamu dengan hari kiamat dan jiwa yang menyesal itu, tetapi aku bertanya kepadamu, bukan bersumpah. Apakah mengira kami tidak akan mengumpulkan tulang-tulang jika engkau mati? Hal itu sudah jelas hingga tidak perlu di sertai dengan sumpah.”
c. La di sini berfungsi sebagai tambahan (ja’idah), sedangkan jawab qasam dari ayat di atas tidak di sebut dan di tunjukkan oleh firman Allah sesudahnya, yaitu: اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَلَّنْ نَّجْمَعَ عِظَامَهُ “apakah manusia mengira, bahwa kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?” (QS. Al-Qiyamah : 3)
2. Qasam Mudwar, yaitu qasam yang fi’il qasam dan muqsam bihnya tidak jelas dan tidak disebutkan, tetapi keberadaannya menunjukkan oleh lam mu’akidah (lam yang berfungsi untuk menguatkan isi pembicaraannya) yang terletak pada jawab qasam, Seperti firman Allah: لَتُبْلَوُنَّ فِي اَمْوَالِكُمْ وَاَنْفُسِكُم “kamu pasti akan di uji dalam (urusan) hartamu dan dirimu.” (QS. Ali Imran [3] : 186).
E. Faedah mempelajari Sighat Qasam Al-Qur’an
Bahasa arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuannya. Lawan bicara (mukhatab) mempunyai beberapa keadaan yang dalam ilmu ma’ani disebutkan adrubul khabar as-salasah atau tiga macam pola penggunaan kalimat berita; ibtida’i, talabi dan inkari.
Mukhatab terkadang seorang berhati kosong (khaliyuz zihni), sama sekali tidak mempunyai persepsi akan peryataan (hukum) yang di terangkan kepadanya, maka perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu memakai penguat (ta’kid). Penggunaan perkataan demikian dinamakan ibtida’i.
Terkadang pula ia ragu-ragu terhadap kebenaran peryataan yang disampaikan kepadanya. Maka untuk perkataan semacam ini sebaiknya di perkuat dengan suatu penguat guna menghilangkan keraguannya. Perkataan demikian dinamakan talabi.
Dan terkadang ia inkar atau menolak isi pernyataan. Pembicaraan untuknya harus disertai penguat sesuai kadar keingkarannya, kuat atau lemah. Pemicaraan demikian dinamakan inkari. Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang mansyur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu dalam jiwa. Qur’an al-karim diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Diantaranya ada yang meragukan, ada yang menginkari, ada pula yang amat memusuhi dan bisa juga kepada orang-orang munafik karena orang-orang munafik adalah orang yang menampakkan kebaikan pada satu sisi dan menyembunyikan keburukan pada sisi lain, atau melaksanakan ajaran agama pada satu sisi dan menyembuyikan kekufuran pada sisi lain. Karena itulah di pakai qasam dalam Kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalapahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.
F. Penutup
Qasam dalam Al-Qur’an adalah setiap wahyu Allah dalam Al-Qur’an atau hadits qudsi yang di ungkapkan dalam bentuk kalimat sumpah. Jadi apabila menemui suatu kalimat yang berisi sumpah, tapi tidak wahyu Allah kepada Nabi Muhammad, maka kalimat itu tidak disebut sumpah dalam Al-Qur’an; begitu pula jika menemukan wahyu, tapi tidak dalam bentuk sumpah , juga tidak dapat disebut sumpah . dan sumpah yang di lakukan manusia, dapat kita artikan qasam (sumpah) yaitu sesuatu yang memberikan penegasan terhadap suatu ungkapan atau pesan dan meyakinkan kepada orang lain bahwa yang di sampaikannya itu benar atau dapat di percayai.
Daftar Pustaka
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. (1994). Sumpah dalam Al-Qur’an. Beirut: Pustaka Azzam.
Al-Qatthan, Manna Khali. (1996). Studi Ilmu Qur’an. Bogor: Litera AntarNusa.
Baidan, Nashruddin. (2011). Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mukarromah, Oom. (2013). Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ritonga,Asnil Aidah. (2010). Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Syafril. (2016) Nifaq Dalam Persfektif Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tematik). Jurnal Syahadah Vol. V, No. 1.
0 Komentar